Lampung Selatan — Di tengah derasnya arus modernisasi dan individualisme yang tumbuh di ruang-ruang urban, negara hadir dengan cara yang tak terduga: menyapa masyarakat melalui selembar bendera. Seperti itulah yang terjadi di Jalan Ryacudu, Way Huwi, Kecamatan Jati Agung, Kabupaten Lampung Selatan, Rabu (6/8/2025). Di jalan yang setiap hari menjadi urat nadi transportasi Lampung, negara muncul dalam wujud yang lebih membumi.
Sebanyak 5.000 bendera Merah Putih dibagikan langsung oleh personel Polda Lampung kepada para pengguna jalan. Pengendara roda dua, pengemudi mobil pribadi, sopir angkutan umum, bahkan pejalan kaki — semuanya menjadi bagian dari momen yang sederhana namun penuh makna ini.
Tidak ada protokoler, tidak ada panggung. Yang ada hanya polisi berdiri di pinggir jalan, menyodorkan bendera dengan senyum ramah. Di tangan mereka, Merah Putih bukan hanya kain simbolik. Ia menjadi media komunikasi, jembatan sosial antara negara dan warganya.
Sebuah Gerakan Simbolik yang Mengakar
Kegiatan ini merupakan bagian dari Gerakan Pembagian 10 Juta Bendera Merah Putih yang dicanangkan oleh Kementerian Dalam Negeri dan dijalankan secara nasional. Polda Lampung menjadi salah satu institusi yang menerjemahkannya ke dalam bentuk paling konkret: mendatangi masyarakat, bukan menunggu.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol. Umi Fadilah Astutik, menyampaikan bahwa kegiatan ini tidak semata seremonial tahunan, tetapi juga bentuk komitmen moral Polri dalam menjaga nilai-nilai kebangsaan.
“Kami ingin mengingatkan bahwa kemerdekaan bukan hanya urusan sejarah, tetapi harus hadir dalam kehidupan sehari-hari. Dan membagikan bendera adalah cara kami menyapa masyarakat, menghidupkan kembali rasa bangga sebagai bangsa Indonesia,” kata Kombes Umi.
Dalam kegiatan itu, aparat kepolisian juga menyelipkan edukasi ringan tentang keselamatan berlalu lintas. Di balik setiap bendera yang dibagikan, ada pesan kecil: jadilah warga negara yang tertib dan peduli, bukan hanya saat 17 Agustus, tapi setiap hari.
Resonansi Simbolik di Ruang Sosial
Apa yang dilakukan oleh Polda Lampung ini menarik karena menyentuh dimensi simbolik dari ruang publik. Jalan raya yang biasanya menjadi ruang pragmatis — tempat orang berlomba melawan waktu — berubah menjadi ruang perjumpaan emosional antara rakyat dan simbol negara.
Bagi masyarakat, menerima bendera dari aparat bukan hanya soal “penerimaan barang gratis”, melainkan tentang validasi identitas. Bahwa mereka dilihat, dihargai, dan diajak untuk ikut merayakan sesuatu yang lebih besar dari urusan pribadi: yaitu keberadaan Indonesia.
Iman, 41 tahun, pengendara ojek online, mengaku awalnya mengira ada pemeriksaan kendaraan. Namun ketika ia disapa dan diberi bendera, ia merasa “didekati” oleh negara dengan cara yang lebih manusiawi.
“Biasanya polisi kalau manggil itu karena ada salah. Ini malah kasih bendera. Saya merasa dihormati,” ujarnya.
Respons serupa juga datang dari sejumlah pengendara lain yang langsung memasang bendera di spion, kaca depan, bahkan menyimpannya untuk dibawa pulang dan dikibarkan di rumah.
Menanamkan Kembali Rasa Kepemilikan atas Negara
Kegiatan ini juga mengangkat kembali satu persoalan mendasar: apakah masyarakat masih merasa memiliki negara ini? Di tengah derasnya pengaruh media sosial, polarisasi politik, dan krisis kepercayaan terhadap institusi, tindakan nyata seperti ini menjadi penting.
Ketika aparat turun ke jalan tanpa bersenjata, tanpa instruksi hukum, tetapi dengan niat menyapa dan berbagi simbol negara, di situlah proses rekonstruksi rasa kebangsaan dimulai. Negara tidak lagi hadir dalam bentuk kekuasaan, tetapi dalam bentuk perhatian.
Dan perhatian itu penting. Ia menjadi bahan bakar bagi kohesi sosial yang lebih kuat. Bendera yang dibagikan adalah undangan untuk kembali merasa menjadi bagian dari Indonesia — bukan hanya secara administratif, tetapi secara emosional.
Merayakan Kemerdekaan Lewat Kedekatan, Bukan Jarak
Peringatan Hari Kemerdekaan ke-80 Republik Indonesia tahun ini mengusung tema "Indonesia Maju, Indonesia Bersatu." Tema tersebut bukan sekadar narasi pembangunan dan integrasi, tetapi juga ajakan untuk merajut ulang kedekatan antara elemen negara dan rakyatnya.
Apa yang dilakukan oleh Polda Lampung menjawab tantangan tersebut. Bukan dengan pidato atau seremoni formal, melainkan dengan turun langsung ke ruang publik dan menjalin relasi interpersonal yang hangat. Polisi yang biasanya terlihat kaku, hari itu menjadi fasilitator kebangsaan.
Bendera yang Terus Berkibar di Jalan dan Hati
5.000 bendera mungkin terlihat kecil jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia. Namun dalam konteks sosial, mereka adalah simbol pertemuan kembali antara negara dan rakyat. Di tangan-tangan pengendara, bendera itu berubah fungsi: dari simbol negara menjadi simbol harapan.
Harapan bahwa kita masih bisa bersatu, masih bisa membangun bangsa ini bersama, dan masih bisa percaya bahwa kemerdekaan bukan sekadar masa lalu, tetapi janji masa depan.